Education is not preparation for life. Education is life itself
– John Dewey –
Terasa tersengat ketika seorang teman nyletuk “Tetanggaku
yang hanya lulusan SMA jadi buruh pabrik gajinya malah lebih besar mas daripada
temenku yang sarjana. Yang sarjana malah gajinya tidak sampai UMR, sia-sia kan
sekolahnya.” Dalam hati saya hanya tersenyum miris memaklumi taraf berpikir
teman saya itu yang memang tidak bisa disalahkan begitu saja. Agaknya sudah
menjadi pemahaman yang menjamak di masyarakat kita bahwa keberhasilan
pendidikan seolah diukur dengan penghasilan (materi) yang melimpah.
Orang berduyun-duyun menyekolahkan anaknya
hanya demi harapan akan memperoleh pekerjaan yang baik dengan income yang
baik pula. Orang tua rela menghabiskan uang yang tak sedikit demi sekolah
anaknya. Salah ? Tentu saja tidak. Namun menjadi salah (totally wrong)
ketika mindset berpikir masyarakat kita seolah menjadikan tujuan akhir
pendidikan hanyalah soal materi (uang) an sich. Minim penghasilan
berarti pendidikan seseorang gagal, latar kesarjaanan menjadi sia-sia. Jika
demikian adanya maka jangan heran kalau korupsi di negeri ini masih saja
menjamur subur di setiap sudut-sudut ruang birokrasi, negara maupun swasta.
Bangsa ini sejatinya telah mendalilkan
dengan jelas tujuan pendidikan di UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa Tujuan
Pendidikan Nasional adalah :
“Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Maka dapat dilihat bahwa tujuan paling
pertama dari pendidikan nasional adalah menjadikan manusia beriman dan
bertakwa. Punya iman dan takwa yang baik akan berimplikasi pada adanya
kemuliaan akhlak. Namun kenyataanya bangsa ini nampak gagal mengkampanyekan
tujuan pendidikan di masyarakat atau memang masyarakat kita yang kadung menghirup
aroma kultur materialisme. Yaitu menjadikan orientasi materi hal yang pertama
dan utama seseorang untuk rela bersekolah.
Berpayah-payah demi selembar ijazah dengan
visi akhir memperoleh pekerjaan dengan gaji nan wah. Berbangga-bangga untuk
pamer gelar dihadapan calon mertua dan masyarakat sekelilingnya. Patut
dimaklumi jika yang bermental demikian adalah golongan masyarakat yang
asal-muasalnya memang kurang perpendidikan. Namun bukan kepalang ironisnya
tatkala yang berpaham demikian adalah seorang mahasiswa atau peraih gelar
kesarjanaan.
Pantas saja permasalahan di negeri ini tak
kunjung rampung dengan segala kompleksitas, berkelindan antara satu dengan yang
lainnya. Banyak yang sekolah tinggi-tinggi namun sedikit yang terdidik. Sarjana
berhamburan dimana-mana hampir di setiap sudut kota bahkan desa, tapi mengapa
kontribusi tak kunjung nyata adanya. Lha wong para sarjananya
menjadikan materi sebagai “tuhan” setelah Tuhan yang satunya.
Ketahuliah bahwa gelar sarjana yang
kamu pajang berderet di kartu undangan pernikahan – mau nikah apa mau ngisi
seminar – tidak menunjukan bahwa kamu absolut seorang terdidik. Melainkan
hanyalah sebuah informasi bahwa kamu pernah menghabiskan waktu, materi dan
tenaga di institusi pendidikan formal, entah itu nyata belajar atau hanya
memenuhi gengsi demi gelar, hanya kamu dan Tuhan yang tahu.
Jadi jangan berharap negeri ini akan
betambah baik jika mindset manusia-manusia yang ngakunya mahasiswa dan
perpendidikan namun bermental pecundang. Artinya Kamu melecehkan pendidikan,
yaitu ketika kamu menganggap nilai ujian segala-galanya meski dengan
mengorbankan kejujuran saat tes ujian. Kamu melecehkan pendidikan ketika nyala
lampu merah di jalan kamu tak menghiraukan hanya karena jalanan sepi. Kamu
melecehkan pendidikan ketika kamu memilih kemalasan dengan membuang sampah
sembarangan daripada melangkah ke tong sampah atau menyimpan di saku
ketika tiada tong sampah. Kamu melecehkan pendidikan ketika kamu tiada
menghormati pejalan kaki dengan menerobos trotoar demi laju motor egois saat
kemacetan di jalan. Kamu melecehkan pendidikan ketika kamu menyerobot antrian
saat di pom bensin.
Menganggap biasa semisal perilaku-perilaku
tersebut adalah ironis. Terlebih bangsa ini adalah mayoritas muslim, alangkah
hal tersebut berkebalikan dengan nilai-nilai Islam. Maka jangan salahkan pula
cendikiawan asal Mesir, Rifa’ah Ath-Thahthawi (1801-1873) dengan ucapannya yang
begitu populer seba’da pulang dari Perancis. Ketika ditanya jurnalis tentang
pengalamannya di Perancis, ia berkata “Di Paris aku melihat Islam namun
tiada muslim, di Mesir aku melihat muslim namun tiada melihat Islam.”
Ingatlah bangsa ini tidak meletakan nilai
pendidikan sedemikan rendahnya, bukan penghasilan, pekerjaan ataupun gelar
melainkan akhlak. Maka menjadi terdidik artinya menghendaki adanya transformasi
akhlak, memilih untuk berakhlak lebih dari sekedar berilmu. Mahasiswa dan
generasi pasca kampus harus menjadi pembeda dengan masyarakat lainnya. Bukankah
panggung masa depan bangsa ini ada di pundak-pundak mahasiswa.
Mereka punya tanggung jawab yang lebih
daripada generasi non-mahasiswa lainnya. Tak perlu bicara muluk-muluk tentang
perubahan bangsa jika kamu para mahasiswa dan sarjana masih saja belum mampu
mengubah cara berpikirmu. Mulailah dari hal yang kecil bahkan yang kita anggap
remeh. Jika ada orang lain yang suka melanggar peraturan di jalan maka
seharusnya seorang produk perguruan tinggi tidak berperilaku yang sama meski
hal sepele sekalipun, ketika yang lain membuang sampah sembarangan maka menjadi
tanggung jawab mahasiswa untuk memberi keteladanan yang baik. Artinya harus ada
pembeda antara mahasiswa/sarjana dengan masyarakat lainnya, yang paling
sederhana adalah pada ranah sikap dan perilaku. Jika tidak demikian lantas apa
beda mahasiswa serta para peraih gelar sarjana dengan yang lainnya, kecuali
hanya embel-embel gelar semata, jika seperti itu maka secara tidak sadar kamu
telah melecehan pendidikan.
Perlu loncatan epistemik pada nalar
generasi produk kampus untuk merenung dan mencecap dalam-dalam bahwa adab dan
akhlak adalah hal yang pertama yang harus dimiliki ketika seseorang mengaku
menjadi bagian dari generasi terdidik. Pendidikan adalah proses sepanjang
hidup, proses membangun mindset yang berkemajuan.
Membangun peradaban bangsa adalah dimulai
dengan menyingkirkan mindset-mindset dangkal dan busuk yang bertengger di alam
pikiran masyarakat kita, tentu dimulai dari kita sendiri. Tak peduli seberapa
materi yang akan diraih, tak peduli cibirian orang sekitar karena pekerjaan
yang tidak bergengsi, seorang sarjana harus menjadi pembeda cara bersikap dan
berperilaku terhadap segala permasalahan di lingkungan. Pendidikan adalah
sebuah proses hijrah menuju “Kesadaran”. Sadar akan eksistensinya, sadar akan
tujuan hidupnya, sadar akan perannya, serta sadar akan setiap masalah yang akan
dihadapi. Menjadi sarjana artinya kita menjadi agen transformatif individu atas
sikap dan mental yang berakhlak di masyarakat.
0 Comments