Umar, Menolak Kenaikan Gaji



Hari ini sosok Khalifah Umar bin Khatab r.a. seakan menjadi sumber teladan yang utopis. Laku kehidupannya yang begitu sederhana dan sangat hati-hati dalam menggunakan harta milik negara adalah salah satu sedikit contoh keteladanan Umar r.a.

Sebelum menjadi khalifah, keseharian Umar r.a. adalah berdagang sebagaimana yang dilakukan juga oleh khalifah sebelumnya Abu Bakar r.a. Namun semenjak amanah besar ada dipundaknya yaitu menjadi Amirul Mukminin, Umar lebih disibukkan dengan urusan kepentingan masyarakat.

Ali bin Abi Thalib r.a lantas berkata “Ambillah uang sekedar dapat mencukupi kebutuhan keluargamu”. Akhirnya untuk memenuhi kebutuhan nafkah Umar r.a. dan keluarganya diambilkanlah dari uang negara di baitul mal. Besaran uang yang diperuntukan untuk sang khalifah hanyalah sekedar cukup untuk memenuhi keperluan keluarganya secara sederhana.  

Beberapa waktu kemudian para sahabat termasuk Ali r.a dan Utsman r.a mengusulkan agar uang tunjangan/gaji Umar dinaikkan karena terlalu sedikit. Akan tetapi tak seorangpun berani mengungkapkan niat tersebut kepada Umar. Seperti diketahui bahwa Umar begitu tegas dan ketat jika soal mengenai harta milik umat.

Disampaikanlah niat para sahabat melalui putri Umar, Hafshah r.a yang juga istri Rasulullah saw. Mereka meminta agar Hafshah dapat menyampaikan pesan akan kenaikan gaji kepada ayahnya, Umar bin Khatab r.a. sejurus kemudian disampaikanlah pesan tersebut kepada Sang Khalifah. Ketika pesan tersebut telah sampai kepada Umar, mukanya lantas memerah seakan menunjukan kemarahan.

Lantas Umar r.a. bertanya kepada putrinya “Wahai putriku, siapakah gerangan yang mengusulkan ini ?”. Ragu-ragu dan agak sungkan putrinya menjawab “Jawab dulu bagaimana pendapatmu ?”. 

Umar menyahut “Andaikan aku tahu siapa yang mengusulkan ini maka akan aku ubah muka mereka (memberi hukuman yang membekas di wajah)”.

Kemudian Umar r.a memulai dialog yang penuh hikmah dengan Hafshah, “Wahai putriku ceritakanlah kepadaku tentang pakaian Rasulullah saw. ?

Hafshah  menjawab “Beliau memiliki dua pakaian berwarna kemerahan yang biasa beliau kenakan saat hari Jumat atau ketika menemui tamu.”

Sebutkanlah makanan terlezat yang pernah Rasulullah saw. makan sewaktu di rumahmu ?” tanya Umar ra.

Hafshah berkata “Roti yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan kaleng yang berisi minyak. Kami memakannya ketika musim panas yang dilipat menjadi beberapa lipatan. Pada suatu hari aku membersihkan sepotong roti dengan bekas-bekas minyak saminyang terdapat pada sebuah kaleng minyak yang hampir kosong. Rasulullah saw memakannya dengan penuh kenikmatan dan beliau ingin membagi-bagikannya kepada orang lain.”

Tak berhenti disitu, Umar bertanya lagi “Apa alas tidur terbaik yang pernah digunakan oleh Rasulullah saw di rumahmu ?”.

Hafshah r.a menjawab “Sehelai kain tebal. Pada musim panas kain tersebut dilipat emapt dan pada musim dingin dilipat menjadi dua., separuh untuk alas tidur dan separuhnya lagi untuk selimut.”

Setelah terjadi dialog tersebut lantas Umar berkata kepada putrinya “Perumpaanku dengan dua orang sahabatku (Rasulullah saw dan Abu Bakar r.a) adalah seperti tiga orang musafir yang melalui jalan yang sama. Yang pertama telah melalui jalan tersebut dan telah sampai pada tujuan, pun begitu pula yang kedua. Dan yang ketiga (Umar) ia baru memulai perjalanannya. Jika ia menempuh jalan yang sama sebagai mana dua orang sahabat sebelumnya, pastilah orang ketiga tersebut akan sampai ke tempat mereka.Sebaliknya jika ia mnempuh jalan yang berbeda, maka ia tak akan sampai ke tempat mereka.”

Maksud “Jalan” dari Umar r.a adalah jalan zuhud dan kesederhanaan, merasa cukup atas semua yang ia miliki. Tak ayal yang demikian menjadikan Khalifah Umar r.a sering diungkapkan oleh para shabat bahwa pakaiannya memiliki dua belas tambalan. Bahkan ia pernah datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat hanya karena harus mencuci pakaiannya terlebih dahulu karena tidak memiliki pakaian yang lain.

Begitulah secuil teladan inspirastif dari sosok Umar bin Khatab ra. begitu hati-hatinya dalam menggunakan harta milik negara. Sekalipun untuk hidup dirinya sendiri dan itu merupakan  sebuah kewajaran, tapi Umar memilih menolaknya.

Post a Comment

0 Comments