Bank Dunia pada akhir Januari lalu sempat
mengatakan bahwa 115 juta penduduk Indonesia rentan kembali miskin. Apalagi
saat ini setelah dihantam pandemi covid 19, mungkin angka tersebut akan
bertambah.
Jauh sebelum itu ada laporan yang OXFAM pada tahun 2017 lalu merilis bahwa ketimpangan ekonomi-sosial Indonesia nampak semakin curam. Setidaknya pundi-pundi materi dari 4 orang terkaya di Indonesia (Rp 333,8 triliun) setara dengan harta 100 juta penduduk miskinnya (Rp 320,3 triliun). Bisa dibayangkan bukan, jurang antara si miskin dan si kaya, 4 orang setara 100 juta orang. Terlebih saat kondisi pandemi ini ada kemungkinan ketimpangan itu semakin meningkat.
Sudah
menjadi momok yang lumrah ketika kemiskinan dan kesenjangan ekonomi-sosial
hampir semuanya selalu dinisbatkan dalil-dalil kapitalisme. Nampak paradok juga
ketika kita yang mengaku anti kapitalisme namun juntrungnya hampir semua
sendi-sendi kehidupan kita juga selalu ada nafas kapitalisme di dalamnya.
Membersihkannya nyaris nampak utopis, bahkan mustahil. Hingga Slavoj Zizek
pernah berkomentar bahwa rasanya lebih mudah membayangkan kehancuran dunia
daripada kehancuran kapitalisme.
Di tengah
pandemi covid 19, ekonomi melambat dan lesu. Dan seakan itu semua
mengindikasikan bahwa kapitalisme meredup. Tapi justru sebailknya bukan
kapitalis yang meredup melainkan lagi-lagi para pekerja pinggiran, rakyat
jelata, buruh pabrik dan karyawan swasta yang hidup dalam payung kapitalis itu
yang sekarat. Kebebasan pasar adalah dasar utama sistem kapitalisme bahwa
meminimalisir bahkan menihilkan intervensi negara jika memungkinkan. Biarkan
semua orang hidup dan berkompetisi secara “sehat” katanya. Yang pada ujungnya
tentu kaidah survival of the fittest ala Darwin nampak
menemukan pembenarannya.
Kapitalisme
global adalah semacam follow up kapitalisme klasik yaitu dari
apa yang dulu dikritik jumawa oleh Karl Marx. Kapitalisme yang dulu bersifat
lokal, lingkup negara, kemudian mewujud di hampir seluruh dunia tanpa sekat-sekat
kedaulatan lagi. Konsekuensinya tentu eksploitasi manusia itu sendiri yang tak
terhindarkan guna terpenuhinya nafsu manusia. Eksplotasi buruh dan pekerja
kasar sedemikian rupa bahkan seringkali mengesampingkan ruh kemanusiaan itu
sendiri. Low budget high impact, keluarkan dan tekan modal seminimal
mungkin namun di saat yang sama berusaha hasilkan keuntungan yang
maksimal.
Kerja
tahunan menguntungkan pengusaha, 3 bulan krisis karena corona mereka semua di
PHK seenak wudelnya. Para buruh atau pekerja tersebut memang
bekerja tanpa pamrih. Sebaliknya para pengusaha yang selalu saja berdalih
ekonomi lesu dan ketidakmampuan membayar pekerja seakan-akan ingin bercerita
bahwa mereka juga sekarat. Tapi itu semua hanya basa-basi, mereka tetap saja
hidup serba penuh kemakmuran. “Iri bilang bos” istilah keviralan saat
ini. Maka tafsir teori nilai-lebih (surplus value) pada titik ini terasa
menemukan kecocokannya. Yaitu sejatinya semua keberlimpahan keuntungan yang
diperoleh kapitalis adalah hasil dari kerja keras buruh yang tak dibayarkan –
selama bertahun-tahun. Bahasa enaknya, Itu semua hasil “curian” dari para
buruh, pekerja kasar.
Di lain
sisi para pekerja yang menjadi buruh baik di korporasi, pusat perbelanjaan,
ataupun kerangka-kerangka lapak kapitalis lainnya, para pekerjanya selalu
memiliki nilai tawar yang rendah. Karena memang atribut nilai tawar rendah
tersebut diciptakan secara sistemik juga agar tetap melekat pada mereka.
Tingkat pendidikan yang rendah karena mahalnya biaya pendidikan lanjutan
sekelas universitas. Sehingga pemerintah menganjurkan rakyat mudanya yang tak
berkecukupan baik materi maupun intelektualitas agar ke sekolah vokasi
kejuruan.
Ujungnya
bisa ditebak membayar para lulusan SMK/SMA atau bahkan lebih rendah dengan upah
yang lebih murah, terampil dan penurut daripada para sarjana yang kritis, skill
tak tentu, lagi sok jagoan minta gaji tinggi. Kemudian mewartakan kepada negara
seakan menjadi pahlawan dengan argumen “terserapnya tenaga kerja”. Coercive
law of competition, kompetisi yang sedemikian rupa yang akhirnya memaksa
orang-orang, para pekerja untuk “merendahkan” nilai materi dirinya sendiri.
Ancaman PHK dan masih berjubelnya pengangguran menjadi bayang-bayang yang
memaksa para pekerja merendahkan nilai tawar. Meski minimnya kesejahteraan dan
jaminan sosial di tengah eksploitasi kerja yang terkadang kelewat bejat.
Itu semua
adalah keniscayaan kapitalis, agar menjaga keseimbangan dan keberlangsungan
passion rakusnya. Yang seringnya mewujud pada para konglomerat dan politikus
lokal yang menjadi kepanjangan tangan dari kapitalis global (angel investor).
Sekali lagi nampaknya memang tak ada yang bisa terbebas, sekali-kali jika
seseorang berusaha lepas dari sistem kapitalisme maka mereka sejatinya akan
kembali masuk ke cangkang kapitalisme yang lain, terus dan terus
berputar-putar. Selama gaya hidup hedon dan masyarakat konsumerisme (consumer
society) itu sendiri masih bersemayam menjadi kultur – dimana itu
semua adalah hasil kerja-kerja kapitalis juga. Yaitu mengaburkan dimensi antara
kebutuhan dan mana yang keinginan. Maka sekali lagi kita semua sama saja
investor-investor receh tanpa bagi hasil (dividen), yang menyiram pupuk
kesemakmuran bagi para kapitalis.
Baiklah
jika memang memang kapitalisme itu tak dapat musnah di muka bumi atau bahkan
mengecilpun terlampau sulit, setidaknya merubah wajah kapitalis itu sendiri
menjadi wajah yang santun adalah hal yang memungkinkan. Keserakahan adalah
watak dasar kapitalisme bahkan sudah menjadi subconscious. Serakah
itu baik, kurang lebih begitu alam bawah sadar mereka berdalil. Maka itulah
sebenarnya dalil yang menjadi musuh jagat ini, bahwa doktrin kerakusan,
memonopoli keuntungan sebanyak-banyaknya adalah hal yang harus dibunuh. Dalam
varian maujud apapun, kapitalis basisnya adalah akumulasi modal. Anak cucunya
yang dikembangbiakan sedemikian rupa. Termasuk hadirnya minimarket-minimarket
di pelosok yang seringnya tidak memperhitungkan proporsi antara jumlah dan
jarak dengan pasar tradisional. Dampaknya sudah hampir dipastikan – jika tidak
mematikan – berkurangnya omset secara drastis toko kelontong tetangga atau
pasar-pasar kecil di sekitar kita.
Maka rasanya akan menjadi benar andaikala watak dasar para kapitalis yang itu, yaitu keserakahan, akumulasi modal yang nyaris tak berkesudahan itu bisa diubah. Yaitu menjadi sistem yang mengharuskan untuk saling berbagi modal dan meratakan kemakmuran ini bersama-sama. Tidak ada yang surplus, semua akumulasi dibagi bersama untuk kelompok atau masyarakat agar sampai pada titik mencukupkan kebutuhan primer secara layak dan manusiawi. Yang artinya bahwa kita manusia bersepakat untuk tak saling kaya antara yang satu dengan yang lain, asal cukup dan semua kebutuhan dijamin oleh negara. Tapi mungkinkah, yaitu merayakan kapitalisme adalah merayakan kesejahteraan bersama ?
0 Comments