Salah satu lokomotif di Museum Kereta Api Ambarawa - (Foto : 1001Indonesia.net) |
A hopefull morning,
jarum jam masih menunjuk kurang dari pukul 7 pagi, namun serasa sudah tak sabar
untuk menghidupkan motor kesayangan, bersama istri tersayang. Lantas bergegas berangkat
ke sana. Alam pikir sempat menerawang disesaki rasa penasaran “Adakah hubungan antara Lawang Sewu di Kota Semarang
dengan lokasi yang hendak kami kunjungi ?”
Finally I’m going to be there.
Meski terbilang dekat nyatanya saya belum sempat menyinggahi objek wisata yang
satu ini, Museum Kereta Api Ambarawa, salah satu stasiun kereta api tertua di
Indonesia.
Melihat
potongan bebera scene film seperti
Sang Pencerah atau Bumi Manusia yang di dalamnya ada wajah tentang kereta api tempo doloe membuat saya kagum. Warna klasik
dan besi tua yang melekat padanya selalu membuat saya tertarik. Se-epic itukah ?
Rasa
penasaran itu ujungnya merong-rong saya untuk segera kesana dan menyaksikan
langsung seperti apa rupa kereta dengan segala pernak-pernik di dalamnya.
Mecium aroma kereta hingga ingin betul-betul merasakan jejak napak tilas
sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Tempo
hari sebelum waktu berangkat, saya sempat mencari informasi. Hasil dari baca
sana-sini membuat saya makin penasaran.
Jarak
tempuh dari Kota Semarang yang tak begitu jauh. Dengan kendara motor kecepatan
sedang kurang lebih kami memakan waktu 45 menit. Waktu yang cukup untuk
menikmati pemandangan sekeping jejak perjalanan ke Ambarawa.
Seperti
biasanya, kami memang suka dengan waktu yang pagi, mentari yang masih
bersahabat dengan teriknya yang masih hangat. Siapa sangka, selain petugas,
kali ini kami adalah orang pertama yang berkunjung pada hari itu, parkir
pertama sekaligus pembeli tiket paling awal.
Sejak memasuki gerbang, aroma klasik bernuansa khas bangunan kolonial sudah nampak kentara. Pikiran ini langsung diajak melayang di masa penjajahan. Bengunan tua stasiun dengan tembok kokoh nun tebal mengitari area itu. Sebagian sudah nampak direnivasi dengan warna tembok yang baru.
Di
dekat pintu masuk sudah terdapat beberapa spot cuci tangan (wastafle), lengkap dengan sabun. Yups, adaptasi baru memang butuh
pembiasaan yang ekstra ya. Kami terlebih dahulu mencuci sebelum menuruti
langkah kaki yang memburu untuk masuk.
Melangkah
menuju loket pembelian tiket yang kali ini juga dalam bentuk barcode. Era new normal memang menjadikan semua
aktifitas meminimalisir sentuhan antar tangan. Di portal masuk, sudah ada satu
petugas lengkap dengan faceshield dan
maskernya, dengan ramah menyapa kami. Tak lupa mengingatkan kami untuk selalu
mengenakan masker di dalam museum.
Oh
iya, sebelumnya kami juga sudah dikur suhu tubuh dengan thermometer gun dengan petugas yang ramah.
Lantas bapak petugas mengarahkan kami cara masuk menggunakan tiket ber-barcode. Setelah men-shoot tanda barcode pada tiket di layar screen portal tiket, akhirnya kami
masuk. Langsung saja kami memulai petualangan mini kami di Museum Stasiun
Kereta Api Ambarawa.
Ayunan langkah pertama, kami sudah disambut lorong panjang dengan pajangan foto-foto galeri sejarah perkeretaapian Indonesia. Foto-foto itu terpasang rapi disebelah kanan sepanjang tembok tepi luaran museum sejauh 30 meter.
Salah satu lorong di museum dimana terdapat berderet foto-foto informasi sejarah perkeretaapian Indonesia - (Dokumentasi Pribadi) |
Sejarah
dimulai sejak zaman kolonial Belanda mulai membangun jalur kereta sebagai
sarana transportasi manusia dan barang. Yang paling populer mungkin berkaitan
dengan hilir mudik pengangkutan tebu. Ya, pemerintah Hindia Belanda memang
menjadikan tebu (gula) sebagai komoditas penghasil ekspor utama pada saat itu.
Jalan
pelan bersama istri sembari membaca lamat-lamat histori. Just info ya, bagian kalian yang belum tahu, Museum Kereta Api
Ambarawa adalah museum kereta api pertama di Indonesia.
Museum yang terletak di Desa Panjang, Ambarawa ini dulunya adalah stasiun kereta api Willem I yang diresmikan pada tahun 1873. Nama itu diambil untuk mengenang Raja Belanda yang tengah bertahta pada saat itu.
Seiring
berjalannya waktu, Stasiun Willem I ini kemudian dialihfungsikan menjadi museum
yang diresmikan pada 21 April 1978 dengan menawarkan angkutan kereta uap
Ambarwa-Tuntang dan Ambarawa-Bedono.
Di
dalam museum terdapat beberapa gerbong lokomotif kereta api pertama di
Indonesia. Terdapat juga halte mini (stasiun transit) tradisional yang tersebar
di Jawa yang akhirnya dipindahkan ke museum ini untuk perawatan dan pameran.
Selain
itu ada juga ruangan yang memamerkan sejumlah perlengkapan perkeretapaian,
seperti mesin ketik, timbangan, bendera, topi masinis, alat pencetak tiket dan
sebagainya.
Mesin ketik dan sempoa yang sebagai bagian dari alat operasional teknis stasiun saat dulu - (Dokumentasi Pribadi) |
Di
masa pandemi ini semua petugas di dalam museum sudah nampak menggunakan
faceshield dan masker. Mereka berjaga-jaga di beberapa titik museum yang sudah
siap kapan saja menyapa sekaligus memberi arahan barangkali pengunjung ada yang
membutuhkan bantuan.
Jadi
terasa nyaman memasuki era new normal. Tempat cuci tangan yang tersebar di
beberapa titik juga sangat membantu setiap pengunjung agar tetap safety.
Selain
itu di ruangan pameran museum, tertulis batasan minimal pengunjung yang boleh
masuk. Jadi gak perlu khawatir ya akan terjadi desak-desakan yang mengakibatkan
abai terhadap pedoman jaga jarak. Manajamen pengelola museum sudah siap
menghadapi adaptasi baru ini.
Kenyamanan yang ditawarkan beserta iklim napak tilas masa kolonial, rasanya wisata ke di Museum Kereta Api Ambarawa benar-benar berkesan.
Bukan hanya soal hiburan semata ya, tapi juga kami mendapat nilai berharga lainnya. Yaitu sejarah tentang kereta dari masa ke masa. Ingatan ini selayak diajak berlari-lari meneropong zaman perjuangan masa kolonial.
Sembari
menyelami cakrawala tentang perkeretaapian di Indonesia beserta segala hal yang
melingkupinya. Hmm, gak akan nysesel
pokoknya.
Mesin Cetak Tiket Edmonson di salah satu sudut museum - (Dokumentasi Pribadi) |
Bangunan
tua berlatar lokomotif plus stasiunnya
benar-benar tempat yang instagramable,
klasik lagi istimewa. Tak lupa kami mengambil shoot foto di beberapa titik.
Matahari
sudah mulai manampakan teriknya, kami bergegas menuju di penghujung lorong
terakhir. Setelah menghabiskan waktu satu jam lebih, kami menyudahi wisata hari
itu.
Berjalan dengan tapak yang ringan bersama istri, sesekali diiringi canda “Bahwa tidak setiap masa lalu yang pahit harus dilupakan, karena ada jejak-jejak yang menguatkan tentang siapa diri kita, stasiun tua ini misalnya”, kataku pada istri.
Di
pintu keluar, juga terdapat wastfle, jadi cucilah tangan kalian ya sebelum
keluar museum agar tetap safety. Ah, menyenangkan,
kita masih bisa berwisata di tempat senyaman ini.
4 Comments
Udah beberapa kali ke tempat ini dan selalu pengen balik lagi, sukaa. Apalagi sekarang ada perpusnya yang berupa gerbong kereta itu. Saat pandemi gini masih dibuka ngga ya perpusnya?
ReplyDeleteSudah dibuka sejak Agustus kemarin kak, yuk seruu pokoknya :)
DeleteBelum kesampaian naik kereta api uapnya huhu...
ReplyDeleteSepertinya untuk keretanya memang belum bisa difungsikan seperti biasanya kak, tp tetep seru kok :)
Delete