Turki Dan Tentang Mimpi Melanjut Studi



Temen-temen yang berkenan lanjut studi ke Turki, ini linknya ya, mumpung sudah dibuka” pesan singkat yang tak sengaja aku buka di salah satu grup whatsapp alumni kampus, dimana aku termasuk di dalamnya. Seketika aku antusias, mata ini meluncur membuka link yang dishare oleh salah seorang seniorku di kampus, yang saat ini juga tengah  melanjut studi doktoralnya di Turki (Turkiye Burslari Scholarship).

Oh iya, kebetulan seniorku itu juga sering “pamer” (dalam arti positif) di beranda facebooknya, tentu sesekali postingannya melintas sekelibat di wall-ku dan untuk sejenak berhenti menyita perhatianku. Aku selalu terpesona dengan foto-foto kegiataannya saat di kampus serta destinasi wisata saat liburan bersama teman-temannya. Ahh, betapa aku ingin kesana, ya ini benar-benar mimpiku, mimpi yang kuharap tersemogakan atas kehendak-Nya.

Aku selalu berkeinginan bahwa kelak aku pasti melanjut studi di salah satu negara yang menyibak peradaban Islam. Dan Turki adalah impian dan tujuanku sedari mahasiswa dulu. Aku yang berasal dari keluarga sederhana bahkan serba terbatas, namun punya mimpi yang besar untuk membanggakan ayah dan ibu. Aku penuh syukur atas dorongan doa dan usaha ibunda tercinta, aku dan kakakku mampu kuliah hingga S1. Bukan hal yang mudah. Ibuku seorang single parent, membesarkanku dan kakak seorang diri sejak ayah meninggal dunia lebih dari 25 tahun yang lalu.

Alhamdulillah, hari ini aku telah bekerja namun mimpi itu masih terjaga, kokoh dan erat dalam diriku. Negera asal kebab tersebut bagiku selalu menjanjikan keindahan, bukan hanya soal asupan intelektual namun juga tentang jejak peradaban. Negara yang berpijak di dua benua, Asia dan Eropa, dimana budaya berbaur dan melebur, multi etnis bercampur. Negara yang meninggalkan banyak sisa-sisa bangunan tua namun penuh arti histori, yang mampu menarik khayalanku menyelami masa-masa kejayaannya.

Marmara University adalah salah satu tujuanku meneguk cakrawala ilmu yang lebih luas. Kampus yang memiliki fakultas peringkat pertama terbaik di Turki yaitu Fakultas Ilahiyat (Fakultas Agama – Faculty of Theolgy). Dari cerita teman, para pengajar di kampus tersebut adalah banyak dari kalangan ulama-ulama Turki. Selain itu bangunan kampus yang megah terletak di ibu kota Istanbul Turki serta dekat dengan daerah Uskudar dimana tak jauh kita bisa melihat ketakjuban Selat Bosphorus. Selat yang memisahkan dua benua.  

Tak bisa membayangkan rasanya, cukup memandang keluar kampus, dihidangkan pemandangan nan indah, langit, laut dan bumi yang menjejak di dunia peradaban berbeda, Eropa dan Asia. Di Istanbul kita juga akan dapat menjumpai pelabuhan terbesar di Turki dengan puluhan kapal pesiar bersandar di dermaga. Dengan kapal tersebut kita akan diajak keliling mengarungi keindahan Laut Marmara.

Turki menyimpan banyak peristiwa sejarah. Di sana banyak terdapat bangunan-bangunan peninggalan Kerajaan Ottoman dan Romawi Kuno (Byzantium) yang masih nampak begitu kokoh bahkan masih terjaga dengan baik keasliannya. Dengan mengarungi tepi Laut Marmara dengan kapal pesiar,  kita akan diajak menikmati keeksotisan bangunan-bangunan peninggalan peradaban.

Mengitari tepian Laut Marmara, akan nampak terlihat Masjid Biru (Blue Mosque), masjid nan megah yang menggabungkan elemen arsitektur Islam tradisional dan Kristen Byzantium. Masjid Biru termasuk sebagai salah satu ikon Istanbul. Tak ketinggalan pemandangan Topkapi Palace (Istana Kesultanan Milik Ottoman) yang akan mencuri decak kagum siapapun yang melihatnya. Istana yang menjadi tempat tinggal Kesultanan Ottoman hingga ratusan tahun, dibanguan pada kisaran pertengahan abad 16 M.

Istana Topkapi memiliki arsitektur yang jauh labih megah dari Masjid Biru, yang saat ini dijadikan sebagai museum yang menyimpan banyak peninggalan barang sejarah. Termasuk barang berharga milik Rasulullah Muhammad saw, seperti mantel, rambut bahkan gigi beliau yang tanggal ketika Perang Uhud. Surban Nabi Yusuf AS, jubah Fatimah serta senjata perang seperti pedang milik para sahabat Nabi Muhammad saw.


Oh iya, jika perjalanan menyusuri tepian Laut Marmara dengan kapal kita lakukan jelang sore hari, saat sinar mentari mulai meninggalkan mayapada yang telah dihangatkannya seharian, mungkin akan nampak indah sekali. Cahaya kekuningan yang berpendar menyelimuti bangunan-bangunan peradaban, menyelusup di antara celah-celahnya yang semakin menua. Tentu pemandangan demikian hanya bisa dilakukan saat musim panas. Meski begitu aku yakin saat musim dinginpun tak kalah mempesona.

Selain itu, kapal juga akan melewati Jembatan Selat Bosphorus. Jembatan yang istimewa karena menghubungkan antara Turki Asia dan Turki Eropa. Selat Bosphorus juga menghubungkan antara Laut Marmara dan Laut Hitam. Pernak-pernik Istanbul membuat siapapun terbius untuk selalu ingin dan rindu mengunjunginya. Rasanya jadi tak sabar ingin berkunjung ke sana.

Ternyata menikmati Istanbul dapat dilakukan dengan dua cara, selain dengan mengitari Selat Bosphorus bisa juga melalui Menara Galata (Galata Kulesi) yang berusia lebih dari 600 tahun. Menara ini juga dilengkapi dengan lift, jadi kita tidak perlu susah-susah untuk mendaki tangga guna melihat keindahan Istanbul. Di atas menara, kata orang-orang yang pernah berkunjung ke sana terdapat café yang bisa kita nikmati sembari memandang pesona sekeping Turki.

Tak jauh dari Istanbul, di area Sultan Ahmed Square aku berharap akan juga mengunjungi Museum Hagia Sofia (Ayasofia) yang letaknya juga tak jauh dari Masjid Biru. Hagia Sofia  beberapa waktu lalu statusnya telah dibuat menjadi masjid kembali, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai museum. Bangunan yang didirikan sebagai gereja Orthodox Yunani ini kemudian dialihfungsikan menjadi masjid saat Kekaisaran Ottoman berkuasa. Bentuknya yang masih terjaga dan arsitektur bernuansa khas Kekaisaran Byzantium menyibak banyak kisah yang membuat orang ingin mengunjunginya.

Masih di area yang sama (Sultan Ahmed Square) kita akan melihat semacam tugu atau monumen yang menjulang tinggi, Hippodrome namanya. Tempat yang konon dulu dijadikan sebagai arena pacuan kereta dan tempat olahraga di masa berkuasanya Kekaisaran Byzantium. Dan sekarang hanya menyisakan tiga tiang (monumen) yaitu Obelisk Mesir, Obelisk Constantine dan Tiang Serpent.

Istanbul sebagai bekas ibu kota Romawi Timur nampak tak pernah pudar di lekang zaman, ia senantiasa menawarkan daya tarik dengan beribu pesonanya. Bangunan langit (alam) dan bumi nampak berpadu mesra berirama membuat mata ini terlena seakan selalu ingin segera kesana. Mungkin itulah yang membuat Turki istimewa, bukan hanya soal antara Asia dan Eropa namun juga soal negara yang di dalamnya pernah menjadi pusat peradaban dunia.

Aku juga tak ingin ketinggalan untuk mengunjungi Museum Mevlana. Yang namanya selalu kudengar dari buku bacaan tentang biografi Jalaludin Rumi, seorang sufi sekaligus pujangga besar dunia. Mevlana adalah nama lain dari Rumi. Karyanya banyak ditelaah, dikaji dan direnungi hingga kini oleh para akademisi. Meski letaknya agak bergeser dari Istanbul, yaitu di Kota Konya, tentu aku tak akan melewatkan kesempatan berkunjung ke sana.

Tarian sufi – tarian berputar-putar dengan baju khas seorang darwis – yang selama ini kita kenal, konon diciptakan oleh Jalaludin Rumi sebagai ekspresi kecintaan pada Tuhannya. Hingga akhirnya tarian tersebut menyebar ke suluruh penjuru dunia. Makam Rumi beserta beberapa muridnya juga terdapat di dalam lingkup museum termasuk beberapa barang peninggalan sang sufi. Karya puisi Jalaludin Rumi banyak digandrungi, kumpulan puisi-puisinya banyak menginspirasi pujangga dunia.

Kesempatan mengunjungi dan melihat itu semua akan selalu menjadi mimpiku. Masih selalu kujaga dalam kalam lantunan doa yang kuterbangkan pada malam-malam sunyi, dalam rengkuh shalat dan tekad yang bulat agar dikabulkan oleh-Nya. Sang Maha Penggegam Mimpi.  

Beberapa tahun ini aku banyak terlibat aktif di lembaga filantropi nasional dengan fokus agenda pemberdayaan sosial dan ekonomi. Aku banyak menjumpai mereka, orang-orang yang mungkin kurang beruntung secara ekonomi, dengan segala keterbatasannya mampu mengajariku banyak hal. Tentang optimisme hidup dan tentang rasa syukur yang tak mengenal kata usai.

Di sela-sela agenda pendampinganku dengan mereka yang lembaga bantu, aku selalu menitip doa akan mimpiku pada mereka. Agamaku mengajarkan bahwa untuk mencari keridhoan-Nya, selain doa orang tua, maka carilah pada ucap-ucap doa mereka orang-orang yang termarginalkan dan kurang beruntung. 

Di Turki, mimpi melanjut studi adalah sebuah cita-cita tentang seorang dari keluarga yang amat sederhana, yang dari kecil tinggal di rumah yang kurang layak huni, sesekali bekerja untuk mencari bekal sekolah di esok hari namun memendam  mimpi, membanggakan keluarga dan ibundanya tercinta. Ia yakin bahwa dengan ilmulah seseorang akan mulia, baik di mata manusia ataupun di mata Tuhannya. Semoga

 

*Tulisan ini telah diterbitkan pula di reddoorz.com

Post a Comment

0 Comments