Siapa yang tidak ingin hidup beruntung alias bejo ? Hampir dipastikan bahwa semua
orang pasti menginginkannya. Beruntung dalam karir, beruntung dalam bisnis,
beruntung dalam berumahtangga dan segala bentuk keberuntungan lainnya dalam
hidup. Karena beruntung adalah absoluditas fitrah positif setiap manusia.
Orang Jawa bilang “Wong
pinter kalah karo wong bejo”. Ada pula terminologi yang mengungkapkan bahwa
beruntung adalah hasil kulminasi pertemuan antara kesiapan dan kesempatan. Lain
lagi yang percaya bahwa keberuntungan adalah seperti melempar dadu, yang
artinya hanya kebetulan semata diluar kendali kita. Apapun itu, semua sepakat
bahwa beruntung adalah peristiwa atau keadaan yang diharapkan tersemat dan
bekerja pada setiap proses hidup mereka.
Namun saya pribadi meyakini – sebagaimana khalayak
ramai pada umumnya – bahwa keberuntungan tentu masih dalam sebuah skenario
Tuhan Yang Maha Pengendali Segalanya. Artinya nasib bejo itu tak lain ujung peristiwa yang telah melewati proses arahan
dari Tuhan. Namun belakangan ada hal yang membuat saya terdecak kagum pada
sebuah penelitian bahwa sebuah kondisi yang kita sebut “beruntung” itu ternyata
berpola.
Berpola dalam artian bahwa keberuntungan itu akan
melekat pada diri seseorang yang memiliki pola sifat dan sikap tertentu. Tentu
yang dimaksud adalah sikap ia dalam menjalani dan merespon keadaan pada setiap
rongga-rongga kehidupan.
Saya menjadi semakin tersadar dan diingatkan kembali
bahwa barangkali Tuhan telah menciptakan “makhluk” yang bernama beruntung itu
dengan ekosistem yang siap bersenyawa dengannya. Artinya siapapun yang mau
beruntung maka senyawailah sifat, sikap dan mindset kalian dengan entitas yang
dicintai makhluk “beruntung” itu.
Adalah seorang Richard Wiseman, profesor psikologi dari
Inggris yang belakangan pernah melakukan penelitan, apa perbedaan orang yang
beruntung dengan yang tidak beruntung.
Profesor yang mengabdi di University
of Hardfortshire ini mencoba mengetahui bagaimana sebuah peristiwa
beruntung itu dapat melekat pada seseorang dan seberapa besar kesempatannya.
Sang professor mengawali penelitiannya dengan menguji
terlebih dahulu orang yang mengaku beruntung dan yang merasa tidak beruntung. Hasilnya
ternyata orang-orang beruntung memiliki skor lebih tinggi dalam hal sebuah
sikap yang terbuka dan komunikatif dengan dunia luar, serta memperoleh kepuasan
dengan hal tersebut (exstroversi). Dan sederhanaya adalah mereka (orang
beruntung) tersenyum dua kali lebih sering kepada orang lain, menyapa dengan
melibatkan kontak mata.
Bisa diasumsikan bahwa sikap mereka yang seperti itulah
yang mampu memanggil keberuntungan mendekat. Karena seseorang dengan sikap yang
terbuka dan senang dengan bersosialisasi dengan orang banyak semakin memperbesar
kemungkinan kesempatan untuk beruntung.
Sebaliknya, Profesor Wiseman menyatakan bahwa orang
yang merasa tak beruntung memiliki skor dua kali lebih tinggi dalam hal
neurotisme. Artinya semakin tinggi skor neurotisme seseorang maka ia akan
semakin mudah stres, cemas, marah dan kekhawatiran yang berlebihan lainnya.
Studinya tentu berlangsung lama, ia juga memberikan
perobaan dimana orang-orang objek penelitiannya diberi Koran dan diminta untuk
menemukan sejumlah foto di dalamnya. Orang-orang yang merasa tak beruntung
mampu menemukan dalam waktu kurang lebih dua menit. Namun ternyata orang yang
merasa beruntung mampu menemukan foto hanya dalam hitungan detik.
Dari sejumlah temuannya tersebut, Profesor Wiseman
menyimpulkan bahwa mereka yang merasa beruntung mempunyai ekspektasi yang
positif dan optimis dalam menghadapi hidup. Dalam situasi sesulit apapun,
mereka akan mampu menemukan jalan keluar karena sikap optimismenya. Dan sikap
tersebut akan membuat hidup mereka lebih bahagia.
Lebih jauh pada ujung penelitiannya, sang profesor
mengadakan semacam simulasi sekolah beruntung (luck school). Dimana sejumlah orang yang merasa tak beruntung (unlucky people) diberikan semacam
latihan berkelanjutan. Hasilnya sungguh mencengangkan, 80% dari mereka berubah
semakin bahagia, positif thinking dan tentunya lebih merasa beruntung dalam
hidup.
Lantas latihan apa yang sesungguhnya didoktrinkan
kepada para “pasien” unlucky people
itu. Dari hasil praktek pada penilitiannya tersebut, setidaknya ada tiga hal
yaitu selalu berpikiran terbuka , selalu mencari sisi positif pada setiap
situasi, dan berusaha mengerjakan hal-hal baru diluar kebiasan kita, tentu
masih dalam kerangka hal yang positif.
Hal sederhana yang bisa kita renungkan bersama bahwa ternyata
sebuah hal yang sering dianggap sepele mampu membawa dampak yang cukup
signifikan dalam hidup seseorang.
Bisa dikatakan bahwa orang-orang beruntung adalah
mereka yang senantiasa positif dan bersyukur dalam menghadapi hidup. Mereka,
yang walaupun dalam situasi yang tak mudah – seperti saat pandemi covid 19 ini
– akan tetap bersikap optimis dan tetap bersosialisasi dengan baik kepada orang
lain.
Menyemai tegur dan senyum sapa kepada saudara, tetangga
atau siapapun yang ia temui adalah sebuah
lifestyle bagi mereka. Jadi memilih menjadi beruntung adalah berawal dari
sikap atau akhlak kita kepada diri sendiri – yaitu menyingkirkan sifat cemas
berlebihan, mudah marah, khawatir, panik – maupun akhlak kita pada orang lain.
Selalu berprasangka baik pada Tuhan adalah salah satu
cara bagaimana bersyukur dan bersikap positif. Lepasnya sesuatu dari diri kita
adalah barangkali cara Tuhan menunda saja atau menggantinya dengan yang lebih
baik.
Namun yang jelas, beruntung bukanlah dilihat dari kaca
mata sempit semata. Mereka yang beruntung adalah bukanlah tentang yang paling
berharta atau bukan pula tentang yang paling tinggi jabatannya. Tapi yang
beruntung adalah mereka yang mampu berubah dari kondisi yang sebelumnya kurang
baik menjadi lebih baik. Sebagaimana perspektif agama, khususnya Islam menerangkan.
Jadi sudah siapkah kita menjadi orang beruntung ?
0 Comments