Harga Buku Mahal, Tanggungjawab Penulis atau Negara ?

 


Belakangan saya tergelitik pada sebuah artikel yang menulis tentang kritik kepada penulis kenamaan tanah air. Pastinya tulisan tersebut bukan cuma ditujukan secara personal semata, namun juga seharusnya mengena pada semua penulis ternama. Intinya dalam tulisan tersebut adalah meminta penulis buku dengan puluhan karyanya untuk menurunkan harga bukunya.

Terlebih dalam situasi pademi saat ini, dimana mengharuskan orang untuk lebih banyak di rumah daripada keluyuran tanpa keperluan yang mendesak. Alasan lainnya yang nampak logis tentu karena situasi ekonomi sedang lesu, daya beli turun, dan banyak terjadi PHK. Maka sudah selayaknya bahwa para penulis buku memang layak untuk menurunkan harga bukunya agar lebih terjangkau di kalangan para peminat baca dengan ekonomi menengah ke bawah.

Tidak ada yang salah dengan ide itu –  mengapa harga buku  yang sebenarnya bisa dibilang relatif – masih terbilang mahal di tanah air, buku apapun itu baik sastra, novel, ataupun buku pegangan studi disiplin ilmu tertentu. Namun bagaimana jika harga buku asli lebih murah dari harga buku bajakan, mungkinkah secara otomatis masyarakat akan lebih memilih buku yang asli daripada yang bajakan. Bisa jadi benar, tapi mungkinkah harga buku asli menjadi lebih murah dari yang bajakan ? Yang jelas sependek yang saya ketahui, dengan banyaknya peredaran karya bajakan, para penulis itu sudah banyak dirugikan dari segi royalti.

Tapi mengenai mahalnya harga buku mbok ya jangan ditimpakan ke penulisnya semata. Masak iya para penulis selama ini sudah menanggung beban ‘mengikhlaskan’ karyanya diduplikasi secara komersil, harus diminta bertanggung jawab untuk turunnya harga buku. Penerbit barangkali juga ikut andil besar. Meski kertas yang digunakan sudah  bisa ditekan oleh para penerbit dengan bahan yang relatif baik plus harganya lebih murah. Namun kok bagi sebagian kalangan masih terbilang mahal ya.

Telah menjadi hal yang jamak diamini oleh para penulis bahwa pembajakan di Indonesia begitu luar biasa. Industrinya tumbuh subur secara underground bak jamur di musim hujan. Jadi amat naif rasanya jika kita semua tak tahu semua itu. Jangan tanyakan terbitnya versi buku bajakan dalam hitungan bulan atau pekan selepas terbitnya buku yang asli, bahkan sebelum yang asli dirilis, bajakannya sudah bebas terjual di pasaran. Sadis dan ajaib bukan. 

Tinggal ketikan saja judul buku tersebut di google, maka berderet hasil pencarian versi KWnya dalam bentuk fisik telah bertebaran bebas di pasaran akan muncul yang tentu harganya jauh lebih murah. Dan hampir kebanyakan semuanya dijual melalui marketplace, online. Pembajakan buku di negeri ini memang sudah menjadi layaknya industri tersendiri. Pundi-pundi materi tentu saja dinikmati para pembajak yang bisa jadi nilainya ‘keuntungan haram’ tersebut tak bisa dianggap sedikit. Ketika sebuah buku booming, meledak di pasaran, maka karya bajakan pun akan ikut laris terjual. Kenikmatan materi yang ilegal.

Memang belum ada data pasti berapa jumlah buku bajakan yang beredar di pasaran. Yang jelas kata salah seorang penulis, Muhiddin M. Dahlan “Lebih banyak buku bajakan yang beredar daripada yang dikeluarkan oleh penerbit resminya” (tirto.id). Kerugian bukan hanya dialami oleh para penulis buku, negara pun sejatinya juga rugi. Jutaan buku bajakan beredar dan dibaca oleh rakyatnya tanpa dipungut pajak sebagaimana buku aslinya.

Baiklah, jika salah satu cara efektif memerangi beredarnya buku bajakan adalah dengan menurunkan harga buku aslinya hingga sama atau bahkan lebih murah dengan harga buku bajakannya. Maka menuntut hal tersebut kepada penulis adalah gagasan yang kurang pas, menurut saya tentunya. Justru disitulah seharusnya negara hadir memfasilitasi rasa haus baca masyarakatnya dengan tetap berlaku adil kepada para penulis buku. Yaitu negara bertanggung jawab untuk memberikan subsidi harga buku yang telah ditulis oleh para penulis dengan buah pikir dan gagasan yang tak murah juga tak mudah yang telah disebarkan oleh mereka.  Waktu, keringat dan energi yang sudah para penulis habiskan tetaplah harus dihargai dengan cara tanpa mengurangi benefit materi kepeda mereka.

Produk intelektual itu mahal bung. Para penulis justru secara tidak langsung telah berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan rakyat negara. Subsidi harga buku itu tidak kalah pentingnya dengan subsidi harga BBM. Kecuali memang mindset negara yang masih menganggap buku bukan hal yang urgent untuk dikonsumsi semua rakyatnya. Menganggap pembajakan karya tidaklah merusak ekosistem budaya literasi. Menganggap bahwa perlu menghabiskan waktu selama 45 tahun untuk rakyat kita bisa memiliki kemampuan membaca setara negara OECD adalah hal yang biasa, serta bertenggernya kualitas literasi di peringkat 74 dunia juga bukan hal yang buruk-buruk amat.  Atau bahkan menganggap berpendarnya hoaks di kancah dunia maya bukan hal yang berbahaya. Padahal banyak orang membaca buku saja masih merasa bodoh, apalagi tanpa membaca.

Sudah sedari lama kritik tak henti-hentinya digencarkan bukan hanya oleh para penulis buku namun juga oleh para pegiat literasi lainnya tentang masifnya pembajakan buku di negeri ini. Ketika edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya membeli buku yang ori masih minim hasil. Maka menjadi hal yang wajar mengharapkan kehadiran negara untuk memberi solusi. Bukan cuma dalam hal penegankan hukum terkait pelanggaran undang-undang hak cipta saja – yang sebenarnya penegakannya juga masih melempem. Namun juga bagaimana negara mampu menyediakan harga buku yang murah atau bahkan sama dengan harga buku bajakannya.

Jikapun negara belum sanggup mensubsidi semua buku, setidaknya berikanlah subsidi buku asli yang murah kepada para pelajar dan mahasiswa, kepada para penuntut ilmu – seperti di Mesir para mahasiswa menikmati privilege murahnya harga buku – yang menjadikan buku sebagai kebutuhan elan vital untuk aktifitas akademiknya. Jadi penghargaan dunia literasi bukan cuma tentang apresiasi negara pada acara seremonial di panggung atau di event-event literasi semata.

Mengupayakan sebuah karya untuk mampu dinikmati semua kelas sosial kalangan rakyatnya adalah juga bentuk penghargaan negara untuk para penulis dan pegiat literasi. Nampaknya untuk saat ini, mengharapkan itu semua terealisasi masih jauh panggang daripada api. Semua rakyat dianjurkan untuk banyak membaca,  namun negara masih “gagal” menyediakan fasilitas yang paling esensi. Yaitu buku-buku yang murah sebagai bahan bakar utama untuk dibaca oleh semua kalangan yang merupakan salah satu cara memantik tumbuhnya SDM yang berkualitas.

Negara seharusnya juga bertanggung jawab karena kekurangoptimalannya dalam memfasilitasi daya baca rakyatnya. Fasilitas bukan cuma adanya perpustakaan di setiap daerah semata, melainkan mudahnya masyarakat mengakses secara ekonomi untuk sebuah buku yang ingin mereka miliki adalah hal yang tak kalah penting. Urgensi solusi alternatif ketika pembajakan buku yang sedemikian masif belum maksimal dituntaskan. Maka ketersediaan buku yang murah mungkin bukan hanya meminimalisir pembelian buku bajakan semata tapi juga sebagai sarana persuasif negara menjamurkan budaya baca kepada warganya. Jika sudah demikian, masih layakkah menuntut murahnya harga buku ke penulis atau penerbit ?


Post a Comment

0 Comments