Ilmu dan amal adalah satu tarikan nafas. Laksana
pohon yang besar, maka amal adalah buahnya yang tengah tumbuh dan berjatuhan.
Tanpa amal (buah), maka ilmu (pohon) itu akan sia-sia, setidaknya miskin makna
tujuan ia ada.
Dengan ilmunya, ia bukan hanya bermanfaat bagi
dirinya sendiri melainkan juga akan bermanfaat bagi orang lain. Orang berilmu
meski tak mengajarkan ilmunya secara langsung, ia akan tetap bermanfaat dan
bernilai bagi terciptanya tatanan masyarakat yang baik.
Pada suatu momen hidup kita pasti pernah
mengalami dimana hari-hari dilalui penuh amal shalih dan tiada waktu yang
terlewat kecuali penuh dengan kemanfaatan dan kerja produktif. Pada waktu lain
yang terjadi justru sebaliknya, kita biarkan waktu berlalu sekelibat terbuang
sia-sia tanpa amal kebaikan yang optimal dan kita tak tahu seharian telah
melakukan apa saja.
Untuk hari-hari yang penuh kebaikan, kita merasa
senang dan bahagia setelah melewatinya. Sedang untuk hari-hari yang terbuang
sia-sia, kita seakan ada rasa sedih. Mungkin kita tidak bermaksiat kepada Allah
namun sedikitnya amal pada hari yang terlewat rasanya cukup membuat rasa
penyesalan pada diri.
Namun perasaan penyesalan dan sedih pada hari-hari
tanpa amal tidak akan dirasakan oleh semua orang, melainkan hanya akan
dirasakan oleh orang-orang berilmu. Mengapa demikian ?
Musabab orang berilmu tidak menjadikan harta dan
materi sebagai ukuran keberhasilan. Orang berilmu tidak pula menempatkan jabatan
atau karir sebagai bentuk capaian optimal dari setiap waktu yang ia gunakan.
Orang yang benar-benar berilmu tidak menjadikan itu semua sebagai tujuan.
Orang berilmu beruntung bukan karena hartanya,
bukan karena raihan prestasinya, bukan pula karena amanah jabatannya. Sekalipun
ia memiliki semua itu, sekalipun ia mendapatkan semua itu karena ilmunya namun
sungguh bukan itu nilai keberuntungannya.
Orang berilmu beruntung karena ia memahami arti dan tujuan hidupnya. Ia memahami nilai dan makna hidupnya. Ia tidak menjadikan hari-harinya terlewat kecuali dengan ketaatan dan kebaikan akan perintah-Nya dan jalan Rasul-Nya. Dan itu semua jauh melampaui dari sekedar harta, prestasi, jabatan, atau karir yang dipandang berharga oleh kabanyakan manusia.
Ilmunya menjadikan ia paham apa yang harus
dikerjakan dan mana yang yang harus ditinggalkan. Ilmunya yang menjadikan ia
tahu apa saja yang harus ditingkatkan dan yang mana saja yang harus
dikurangi. Maka sungguh begitu beruntung
orang-orang berilmu. Hidupnya ia gunakan dengan penuh kebaikan, tidak terlampau
mengagumi dengan remah-remah dunia seisinya.
Seseorang boleh jadi merasa bahagia dengan
aktifitas kesehariannya, ia sibuk dengan hobinya, ia sibuk dengan pekerjaanya, ia
sibuk dengan pergaulannya namun belum tentu itu semuanya menjadikan ia mulia.
Bahkan bisa jadi kesibukannya bermakna kosong tanpa arti. Kesibukannya laksana
fatamorgana yang ia sangka indah dan menjanjikan kebahagiaan namun sejatinya
ilusi tanpa arti yang hakiki.
Orang berilmu akan selalu meniatkan setiap
aktifitasnya untuk meraih ridha-Nya. Meski ia barangkali tak memiliki harta
berlebih, tidak pula memiliki jabatan atau kedudukan yang istimewa di mata
manusia, namun ia tetap bahagia dan tenang dalam menjalani hidup. Sekali lagi,
itu semua karena ilmunya yang menjadikan ia mulia.
Berkaitan dengan ilmu, Imam Ats-Tsauri pernah berkata, “Ilmu lebih diutamakan daripada yang lain karena dengan ilmu seorang hamba akan timbul rasa takut dan taqwa kepada Allah”.
Dalam mensyarah ucapan
tersebut, Syeikh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa jika tujuan berilmu
(maupun pencari ilmu) telah rusak, misalnya ia meyakini ilmunya mendatangkan
keuntungan dunia berupa harta, kedudukan dan kehormatan. Sungguh itu semua akan
menggugurkan pahalanya dan amalnya akan jatuh, ia akan mengalami kerugian yanng
nyata.
Maka mereka yang berilmu akan menjadikan entitas
ilmu itu melebur dalam tiap-tiap aktifitasnya. Tak akan terlewatkan aktifitas
kerja-kerja harian tanpa disertai ilmu di dalamnya. Ilmunya dimulai sejak dari
awal (niat) hingga tertuntaskannnya amal dan pekerjaan yang ia lakukan.
Ukurannya jelas, Allah dan Rasul-Nya sebagai
jalan dan tujuan utamanya. Bukan untuk dunia semata, melainkan untuk nilai
keduanya kemuliaan dunia dan akhirat. Rabbana
atina fiddunya hasanah wa filakhirati hasanah waqina adzabannar.
“Katakanlah
: adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tiada
mengetahui ? Sesungguhnya orang-orang berakalah yang dapat menerima pelajaran” (Az-Zumar : 9)
Ibnu Ath-Tha’ilah dalam Al-Hikam berkata bahwa
“Sebaik-baiknya ilmu adalah yang disertai rasa takut kepada-Nya”. Salah satunya
takut akan meninggalkan perintah-Nya, takut akan ketidak ridhaan-Nya, takut
bahwa harinya terlewat dengan sia-sia. Wallahu’alam
Bishshawab
0 Comments