“Sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal
daging, apabila ia (segumpal daging itu) baik maka baiklah seluruh jasadnya.
Sebaliknya apabila ia buruk maka buruk pulalah semua jasadnya. Ketahuilah
segumpal daging itu ialah hati”. (HR. Bukhari & Muslim)
Sepenggal hadits yang sudah populer di telinga
kita semua. Bahwa dalam setiap diri manusia terdapat segumpal daging yang amat
menentukan keadaan diri seorang hamba. Dan Rasulullah Saw menyebut segumpal
daging itu sebagai hati.
Akhlak dan perilaku adalah cerminan kondisi
hati. Senang dan susah adalah cerminan pula dari kondisi hati. Bahagia dan
gelisah juga merupakan gambaran kondisi hati. Maka hati menjadi tempat yang
amat penting bagi seorang hamba. Dan sebagai penawar itu semua, Allah telah
memberitahu resepnya dalam Al-Quran :
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram.”
(QS Ar-Ra'du : 28)
Ketika hati kita sedang sedih, gelisah dan penuh rasa
khawatir maka kita akan langsung banyak-banyak mengingat-Nya melalui
lafal-lafal dzikir. Mewiridkan asma-asma-Nya ratusan hingga ribuan kali
berharap Allah akan segera mencurahkan ketenangan dalam hati kita. Janji Allah
adalah pasti, maka sudah semestinya amal-amal dzikir yang kita lakukan pastilah
akan menenangkan hati.
Maka mengingat Allah adalah menjadi sebaik-baik
obat bagi hati yang tak kunjung tenang, bagi hati yang tak kunjung bahagia, dan
bagi hati yang senantiasa selalu merasa sengsara. Menuju sumber cahaya dan
pemilik hati adalah sebaik-baik penawar rusaknya hati.
Namun barangkali sebagian dari kita ada yang belum merasakan
hal yang serupa, yaitu datangnya ketenangan dan ketentraman hati meski telah
berdzikir ratusan bahkan ribuan kali. Lantas apa yang salah ?
Ada salah satu kisah menarik dari tokoh besar
yang dikenal sebagai Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali (w. 1111 M). Ia menceritakan sebuah kisah analogi yang
begitu apik dalam kitabnya Ihya Ulumuddin,
terkait hati yang tak kunjung tenang. Suatu ketika Al-Ghazali pernah dikeluhkan
akan seseorang mengenai kegelisahannya.
“Wahai
Syeikh, saya telah banyak berdzikir mengingat Allah hingga ribuan kali, tapi
mengapa hatiku tak kunjung tenang ?”
Kemudian Al-Ghazali menjawab “Wahai anak muda, bagaimana pendapatmu jika
seseorang yang selalu berusaha keras mengusir anjing namun di dekatnya masih
saja tergeletak tulang (makanan kesukaan anjing) ?”.
“Tentu
yang demikian adalah kesia-sian, anjing itu akan senantiasa kembali dan kembali
lagi”. Jawab sang murid
“Begitu
pula dengan hati kita nak, sebanyak apapun kita berdzikir mengingat Allah, seratus
kali, seribu kali, sepuluh ribu kali, jika hati kita masih dipenuhi
“makanan-makanan setan”, maka hati akan tetap saja gelisah.
Setan itu ibarat anjing, ia akan selalu kembali
lagi pada hati yang terdapat makanan setan. Ia mungkin bisa pergi namun hanya
sebentar dan akan lekas kembali. Mengapa ? karena hati kita masih menyediakan
dan menyimpan tulang atau daging yang menjadi kesukaan anjing (setan). Begitupun
dengan hati yang masih saja menyimpan makanan kesukaan setan. Maka setan akan
terus saja bersayam dalam hati, yang membuat kita masih saja gelisah, khawatir,
gundah gulana atau bahkan ragu akan janji Allah.
Apa makanan-makanan setan itu, tak lain dan tak
bukan adalah semua penyakit hati. Ia berupa rasa iri, dengki, sombong, riya,
dendam, hasad dan kawan-kawannya yang masih saja kita biarkan ada dan
berkecambah dalam hati kita. Termasuk cinta dunia, kita khawatir kehilangan
dunia, kita khawatir tak mendapatkan kehormatan, tak memiliki jabatan, tak
kunjung diakui oleh manusia.
Itu semua adalah penyebab hati yang tak kunjung
tenang meski seribu asma-Nya kita lafalkan ribuan kali. Dalam lisan kita
mengingat Allah, tapi hati masih terpaut cinta mati dengan dunia. Dalam raga
kita berdzikir namun hati penuh iri dengan capaian dunia saudara. Tak ada yang
salah dengan lafal-lafal dzikir telah kita lakukan. Sekali lagi, asal dengan
niat lillahita’ala, amal itu semua tetap akan dinilai sebagai pahala.
Namun yang menjadi titik tekan Al-Ghazali
adalah, ketidaktenangan hati meski telah beribu dzikir kita lantunkan
disebabkan lebih karena banyaknya sumbatan penyakit hati yang harusnya
disingkirkan. Membersihkan hati dari segala penyakit-penyakitnya adalah kunci ketenangan.
Karena bersihnya hati adalah kunci kebahagiaan dalam menjalani hidup, kunci
kesabaran dalam menapaki jalan-jalan ketataan, dan kunci semua amal ibadah
apakah segala amal benar-benar untuk Allah atau untuk selain-Nya.
Di hati pula berpusat semua cerminan aktifitas dzahir. Idz kullu ina’in yadhahu bimaa fiihi, setiap bejana itu akan mengeluarkan sesuai apa yang ada di dalamnya. Begitulah penggalan ungkapan Al-Ghazali dalam Ihya. Tentu semua ikhtiar dalam membersihkan hati haruslah dengan meminta pertolongan kepada Allah Swt. Karena ia yang menggenggam dan membolak-balikan hati setiap hamba.
Wallahu’alam Bishshsawab
0 Comments