Clifford Geertz, dalam The Religion of Java, berseloroh bahwa Islam di Nusantara tidak
pernah dianut secara benar (murni/asli) kecuali hanya oleh sedikit komunitas
saja. Islam di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa, dinilai sebagai Islam
sinkretis.
Kondisi tersebut memang tak bisa dipungkiri,
bahkan hingga kini praktik keislaman di Indonesia masih nampak, bagaimana
unsur-unsur budaya lokal dan ajaran pra-Islam terlibat di dalamnya. Peleburan
praktik yang demikian tak bisa dilepaskan dari akar sejarah penyebaran Islam di
Nusantara sendiri oleh para wali.
Islam yang digemari masyarakat – khususnya Jawa – lebih banyak merupakan Islam hasil gabungan atau persenyawaan tradisi-tradisi lokal yang sudah ada dengan ajaran Islam itu sendiri. Hal tersebut dikemudian hari juga nampak pada acara dan ritual tertentu di nusantara, hampir selalu dimasuki oleh unsur Islam dan ditafsirkan pula secara Islami.
Penyebaran Islam di Nusantara yang dimulai sejak
abad ke-7 namun terlihat nampak efektif pada abad ke-13. Dapat diartikan pula
bahwa para pendakwah kala itu melakukan perubahan metodologi. Dimana
unsur-unsur beraroma sufistik turut andil besar dalam keberhasilan syiar Islam.
Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, mengukuhkan bahwa perkembangan
awal Islam di negeri ini bercorak sufistik. Hal itu mengisyaratkan bahwa sufisme
memiliki elemen-elemen yang lebih selaras dengan agama dan budaya lokal
sebelumnya. Genre tasawuf yang mungkin lebih akomodatif, sehingga mudah diserap
di masyarakat.
Pesantren – yang menurut Martin merupakan
lembaga yang menjadi penghubung ketersambungan (sanad) antara Timur Tengah dan
Asia Selatan pada awal masa perkembangan Islam – adalah salah satu unsur
terpenting yang berperan dalam dakwah Islam di masyarakat. Selain itu Mark
Woodward dalam Islam Jawa menyatakan,
sejatinya pesantren lebih dekat dengan tradisi campuran ala Arab-Hindu di
India.
Ia juga menyatakan kesalehan normatif dan
kebatinan, dua tipe yang menjadi arena perdebatan ranah tasawuf ditemukan dalam
banyak praktik Islam di Jawa. Dalam artian, Woodward mengeklaim bahwa Islam
Jawa dan Islam Normatif adalah dua fakta yang ada di masyarakat Nusantara.
Di Tanah Jawa, pesantren dengan nilai-nilai di
dalamnya, sedikit banyak terdapat
ilfiltrasi budaya dan ajaran Hindu-Budha yang sudah lebih dulu tersebar. Meski
demikian, tradisi pesantren juga tidak bisa diklaim sepenuhnya warisan
Hindhu-Budha. Melainkan, berhasilnya penyaringan nilai-nilai non-Islam yang
kemudian digantikan dengan unsur Islam sehingga menghasilkan produk baru khas
pesantren. Sehingga pada abad ke-19 pesantren telah banyak melepaskan diri dari
pengaruh unsur mistis dan animistis yanng bersumber dari tradisi pra-Islam.
Lembaga semacam itu (pesantren) sebenarnya sudah
ada sejak lama sebelum Islam masuk ke Nusantara. Yaitu dengan nama lembaga guru cula di Jawa yang secara konsep
mirip seperti asrama tempat para pencari ilmu agama dan guru tinggal. Yang saat
Islam menyebar, para ulama dengan canggihnya tidak memusnahkan total lembaga
tersebut. Melainkan dilestarikan dan dimodifikasi sedemikan rupa agar selaras
dengan ajaran Islam. Bongkar pasang dan proses filterisasi dilakukan. Hingga
akhirnya nampaklah produk pesantren tradisional yang ada seperti saat ini.
Sistem asrama dalam institusi Syiwa-Budha
memiliki kemiripan dengan konsep pesantren yaitu mendidik murid baik dalam
agama maupun ilmu kehidupan lainnya. Pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari
keramaian dan pusat kota pun nampaknya meriplikasi tradisi sebelumnya. Dimana
membangun mandala – dikenal juga sebagai ‘depok’ atau ‘padepokan’ yaitu tempat
pendidikan – di daerah bukit, lereng gunung atau semacamnya(Aguk Irawan, 2018).
H.J de Graff dan Pigeaud, sebagaimana disampaikan Nor Huda dalam Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, bahwa pesantren merupakan kelanjutan model pendidikan yang hampir serupa di masa sebelumnya. Yaitu mandala dan ashrama, dimana dalam masa itu sejumlah mandala ditransformasikan menjadi pesantren dengan doktrin-doktrin keislaman selain masih disertai pengetahuan mistiknya (Nor Huda, 2015).
Sikap akhlak dan adab hubungan antara kiai dan
santri disinyalir pula mengandung unsur keterpengaruhan dengan tradisi agama
lokal sebelumnya (Hindu-Budha). Dalam artian bahwa tradisi sebelumnya ikut
andil dalam memudahkan tersebarnya ajaran Islam lewat pesantren. Dalam
pemaknaan lain, pesantren merupakan kesinambungan budaya lokal sebelumnya.
Sikap takdzim seperti mematung, membungkukan
badan atau mencium tangan yang dilakukan oleh para santri terhadap kiai atau
pengasuh pesantren, merupakan nilai-nilai etis yang telah ada sebelumnya di
masyarakat. Hingga adanya ungkapan “Derek
dawuh kiai” yang artinya apapun yang diperintahkan oleh kiai, santri akan
menurut sami’na wa atha’n. Rasanya sulit untuk mengatakan bahwa – membuminya
akhlak dan sikap andhap asor tersebut
– tanpa adanya bantuan sedikitpun dari budaya lokal yang sudah ada. Bahkan siswa
(santri) dilarang membantah atau mendebat sang guru bisa pula dilacak pada
karya kitab dan kesusastraan masa Hindu-Budha.
Sebagaimana dikisahkan bahwa raja-raja
Syeilendra tidak berani menentang atau menolak perintah gurunya. Ketika guru
Brahmana datang, semua mematung, berdiri diam atau membungkuk sembari
mengucapkan salam .Tentunya kisah-kisah dalam naskah kuno khas Hindu-Budha yang
sudah tersebar di masyarakat tersebut sudah sedemikian dihayati oleh
masyarakat. Konsekuensinya tentu adaptasi nilai-nilai Islam – yang juga mengajarkan
hal serupa melalui berbagai kitab seperti yang populer Ta’limul Muta’alim dsb – lebih mudah diterima.
Dalam naskah Silakrama
di era Majaphit terdapat petuah tata krama siswa terhadap gurunya. Kurang lebih
mengajarkan adab bahwa siswa tidak boleh duduk berhadapan langsung dengan guru,
tidak boleh memotong pembicaraan, harus turun dari tempat duduknya jika guru
datang atau lewat, ketundukan siswa pada guru adalah hal yang mutlak. Sehingga
adanya kemiripan itu setidaknya membantu kerja-kerja dakwah walisongo dalam
membumikan Islam di Jawa. Visi dan misi pendidikan dalam naskah Silakrama sendiri – dalam lingkungan gurubhakti – tidak jauh beda dengan pesantren.
Yaitu salah satunya menitikberatkan pada akhlak (karakter) dan budi pekerti
siswa (Aguk Irawan, 2018).
Lebih jauh kita lihat, dalam tradisi Islam di
masyarakat kita, busana muslim menjadi salah satu ciri khas tersendiri. Sarung,
kopiah dan baju koko barangkali sedikit banyak merupakan sebuah proses
inkulturasi dari budaya lain, tak terkecuali Hindu. Dimana laki-laki di
institusi pendidikan masa pra-Islam di Nusantara memakai dhoti (busana/kain berwarna putih) sebagai sarung. Artinya antara
atasan dan bawahan terpisah menjadi dua busana yang berbeda (tidak menyambung).
Hingga sekarang sarung menjadi ciri khas kaum santri yang kemudian menyebar menjadi
ciri Islam di berbagai lapisan masyarakat.
Secara tidak langsung, banyak
kebijakan-kebijakan para walisongo yang berhasil tersistemasi dan terlembagakan
melalui pesantren. Baik pada sisi budaya, ideologi maupun ajaran-ajarannya yang
lain. Termasuk laku praktik kebatinan dan keprihatinan yang bernuansa kejawen
berhasil diubah dengan pemaknaan yang berbeda – misalnya seperti riyadhoh dan
mujahadah.
Sehingga tak bisa dielakkan bahwa proses inkulturasi syiar Islam – yang beradaptasi dengan budaya dan ajaran lokal – nampak lebih menemukan signifikansinya dibanding usaha syiar Islam sebelumnya. Termasuk modifikasi episentrum pusat transmisi keilmuan yang disebut pesantren. Penyebaran pesantren yang berhasil didirikan di sejumlah daerah memiliki andil cukup besar dalam penyebaran dakwah Islam. Karena peranannya sebagai pusat pengkajian Islam selain masjid. Termasuk pesantren-pesantren di daerah terpencil dimana seringnya merupakan cabang-cabang yang didirikan oleh para santri yang telah mendapat ijazah dari sang kiai.
Hingga Islam menjadi agama yang mayoritas sekaligus dipeluk oleh semua kalangan. Mulai dari golongan para raja dan keraton hingga para rakyat jelata. Islam di Nusantara, kata Nurcholis Majid, membawa semangat inkulturasi, yang berarti berbeda dengan proses syiar Islam di belahan negara lain.
0 Comments