Sastra Islam pada generasi
awal banyak dibanjiri oleh karya-karya bernuansa sufistik. Hal tersebut
tidaklah mengherankan, karena hampir sebagian penulisnya adalah juga seorang
penempuh jalan tasawuf. Hari ini karya-karya tersebut pun masih terus
dinikmati, dihayati dan dikaji oleh para sarjana muslim maupun non-muslim di
seluruh dunia.
Jalaludin Rumi (1207-1273 M) menjadi
salah satu sufi yang karyanya begitu fenomenal. Ajarannya yang berpusat pada
jalan cinta, bahkan oleh sebagian kalangan non-muslim di Barat telah dianggap
nama sebuah agama/keyakinan baru. Yaitu agama Rumi. Di Amerika Serikat, karya
yang berisi puisi-puisi Rumi pernah menjadi yang terlaris pada Tahun 2014.
Seorang penyanyi sekelas Beyonce pun menamai anaknya Rumi. Mungkin tak lain
terinspirasi oleh Jalaludin Rumi itu sendiri.
Masnawi
menjadi
salah satu buah karya monumental sang Mawlawi. Di dalamnya kita bukan hanya
akan menemukan untaian kata-kata romantik namun juga mencerminkan kematangan
dan kearifan perihal kehidupan. Masnawi bagi Rumi laksana cahaya bagi
kawan-kawan seperjalanan serta harta terpendam bagi mereka pewaris jalan
keruhanian.
Namun siapa sangka, fenomena
kemasyhuran Rumi sebelumnya pernah diramalkan oleh seorang penyair sekaligus
guru sufi asal Persia. Sang Guru tersebut saat bertemu dengan Rumi kecil
beserta ayahandanya mengatakan bahwa kelak Rumi akan menjadi penyair besar
sekaligus tokoh spiritual. Dimana syair-syairnya akan berkobar membakar seluruh
dunia.
Orang tersebut tak lain kita
kenal sebagai Fariduddin ‘Attar, sang pujangga besar dalam tubuh Islam yang
karyanya juga tak kalah hebat dari muridnya sendiri (Rumi). Bernama lengkap Abu
Hamid Muhammad Ibn Ibrahim, beliau lahir 1117 M di Nishapur, yang sekarang
masuk kawasan Iran. Satu kota dengan penyair kenamaan Umar Khayyam. Percakapan
Burung (Mantiq at-Tayr) menjadi salah
satu karya ‘Attar yang beraroma sastra sufistik. Karya tersebut telah diterjemahkan
pula ke berbagai bahasa. Ditulis dengan bahasa metafor dengan tamtsil
sekelompok burung yang mencari Sang Raja yang diistilahkan ‘Attar dengan nama Simurgh.
‘Attar muda ternyata adalah salah seorang penjual minyak wangi. Membantu ayahnya, kesehariannya sering dihabiskan untuk berjualan di toko tersebut. Namun ia rupanya juga ahli dalam bidang farmasi. Terbukti ia memiliki banyak toko obat yang juga melayani praktik pengobatan pasien. Mungkin hari ini ‘Attar muda semacam apoteker yang menyediakan racikan obat-obatan. Meski namanya akhirnya lebih dinisbatkan sebagai penjual minyak wangi yaitu “Attar” yang diartikan penyebar wewangian.
Awal mula perjalanan hidup
seorang sufi terkadang memang penuh keunikan. Sebut saja Abu Hamid Al-Ghazali
yang gelisah tak karuan di tengah puncak kematangan karirnya. Masyarakat
sekitar sudah begitu takjub dan hormat akan cakrawala keilmuan yang dimiliki
Al-Ghazali. Namun di tengah gemerlapnya karir dunia tersebut, Sang Hujatul
Islam tersebut mengalami gundah gulanan hingga akhirnya memutuskan “mengakhiri”
kemewahan yang ia miliki saat itu. Dan memilih jalan sunyi yang justru semakin
mengokohkan dirinya sebagai salah satu raksasa tasawuf dalam sejarah peradaban
Islam.
Termasuk Fariduddin Attar,
yang juga mengawali karir kesufiannya dengan sebuah peristiwa percakapan
sederhana dengan seseorang yang datang ke tokonya. Ketika seorang yang Attar
sangka sebagai pelanggan yang hendak membeli minyak wangi itu ternyata
menampakan sebuah peristiwa yang memikatnya. Seseorang tersebut, yang tak lain
guru sufi, tengah membuka salah satu minyak wangi lantas menghirupnya seraya
diiringi tangis sedu.
Attar pun terheran dan hendak
mengusirnya. Namun orang tersebut berkata kepada Attar “Baik, saya akan pergi dan itu mudah kulakukan. Lantas bagaimana
denganmu, apakah engkau bisa dengan mudah pergi dan meninggalkan tokomu yang
besar ini ?”
“Bisa” jawab Attar lugas.
“Kalau begitu, mari kita tunggu bukti ucapanmu” tegas orang tersebut.
Seketika orang tersebut merebah dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Persitiwa tersebut begitu
berkesan pada diri Attar. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menempuh jalan
sufistik di awali dengan mencari gurun di Nisyapur, yaitu Syeikh Bukhuddin. Selepas
itupun ia terus berkelana menjadi salik, penempuh jalan spiritual. Hingga
akhirnya Attar menghasilkan salah satu karya satra beraroma sufstik “Mantiq At-Tayr”.
Seperti Mantiq At-Tayr yang
menceritkan sekumpulan burung yang hendak mencari pemimpinnya (jalan
keruhanian) yang tak lain ternyata adalah cerminan diri mereka sendiri. Dari
diri yang hina, yang penuh hasrat dunia menuju diri yang dipenuhi dengan cahaya
keilahian. Dimana banyak rombongan burung yang gagal karena beratnya perjalanan
menuju Bukit Qaf, letak hakikat kehidupan itu ditemukan. Burung-burung yang
gagal dikarenakan banyak yang terjebak dan sulit melepaskan nafsu keduniaannya.
Seperti kemewahan, popularitas, kekuasaan, cinta dunia dan semacamnya.
Sebenarnya ada karya Attar
yang lebih awal sebelum Mantiq At-Tayr,
salah satunya Asrar Namah. Karya
tersebut mengungkapkan tentang sebuah perjalanan dan pengalaman manusia dalam
jalan mistikal (tasawuf). Hampir menyerupai Masnawi karya Rumi, namun Attar
membubuhkan pula kias-kias dan gagasan keruhanian.
Attar ternyata tak hanya
mengkisahkan perihal perjalanan sufistik semata. Dalam karyanya yang lain, ia
juga menarasikan sebuah kritik sosial bernuansa satire terhadap masyarakat dan
penguasa saat itu. Melalui tamtsil Kisah Bahlul, yang sesungguhnya merupakan
cendikiawan yang dikarakterkan sebagai seorang pandir dan gila. Dimana salah
satunnya dalam kisah tersebut Attar menceritakan suatu Bahlul mencambuk
sejumlah makam hingga cambuknya rusak. Seseorang lantas penuh keheranan dan
bertanya apa musababnya ia melakukan itu
Kemudian Bahlul menjawab dikarenakan
orang-orang di bawah kubur tersebut sepanjang hidupnya hanya membanggakan harta
dan duniawi semata. Mereka berkata bahwa harta itu milik mereka bukan milik
Tuhan. “Karena itu mereka ku cambuk sedang tugas mereka di dunia hanya makan,
tidur, bersetubuh, berbangga-bangga dunia serta berbohong” tegas Bahlul dalam
kisah tersebut.
Dalam karya yang lain, Musibah Namah, Attar mengkisahkan
seorang sufi yang melakukan perjalanan ruhani. Bertahanus selama 40 hari,
mengurangi segala hasrat jiwa lahiriah seperti makan, minum, tidur sekaligus
diriingi dengan dzikir dan bertafakur. Yang pada akhirnya orang tersebut
menemukan kebenaran hakiki dalam jiwanya sendiri, Karena sesungguhnya perjalan
para sufi adalah perjalanan dari diri ke Diri. Perjalanan dari diri badaniyah
ke diri ruhaniyah. Perjalanan meraih kesejatian hidup.
Banyak karya Attar yang menginspirasi para sastrawan setelahnya. Bukan hanya dalam kesusastraan Islam semata, namun juga di belahan Eropa. Peter Book misalnya, sutradara asal Inggris tersebut pernah menyadur Mantiq At-Tayr menjadi sebuah naskah drama yang di pentaskan di Eropa dan Asia. Melalui berbagai karya sastranya, Attar banyak menarasikan – tak jarang dalam bentuk kiasan – perihal hakikat kehidupan serta sebuah proses perjalanan spiritual yang harus di tempuh bagi mereka yang ingin mencari kebenaran yang hakiki. Tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang hamba dalam meraih kedekatan dengan Yang Haq.
Diperkirakan Attar meninggal
pada tahun 1230 dan makamnya ditemukan pada tahun 1862. Di batu nisannya
tertulis “Di dalam tokonya yang merupakan
sarang para malaikat, langit bagaikan botol minyak wangi yang begitu semerbak
harumnya aroma sitrun”.
Wallau’alam
Bishshawab
0 Comments