Ibadah
kurban memiliki keutamaan dan hikmah sedemikian besar. Di dalamnya terkandung
juga syiar Islam sehingga alangkah sayangnya jika dilewatkan begitu saja. Allah
Subhanahu wataa’la berfiman dalam Quran :
وَانْحَرْ لِرَبِّكَ فَصَلِّ
Artinya : “Maka shalatlah kepada Rabbmu dan sembelihlah hewan kurban” (QS
Al-Kautsar : 2)
Beberapa hikmah yang bisa dirasakan seperti mempererat tali persaudaraan dengan saling berbagi, menumbuhkan rasa kepedulian dan kasih sayang, hingga meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim a.s.
Mungkin banyak masyarakat yang masih enggan berkurban dengan alasan belum mampu, masih banyak tanggungan, atau alasan yang lain. Meski bernilai sunah, ibadah kurban tidak semestinya diremehkan atau bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali padahal cuma setahun sekali.
Jumhur ulama menghukumi makruh kepada seseorang yang memiliki kelapangan harta namun enggan berkurban. Bahkan Imam Abu Hanifah menilai telah bedosa karena ia memiliki kepalangan harta namun malah meninggalkan keutamaan kurban.
Lantas bagaimana tolak ukur atau standar batasan seseorang dikatakan mampu (secara finansial) untuk berkurban ?
Menurut Madzhab Syafi’i bahwa seseorang dikatakan mampu tidak diukur berdasarkan jumlah nominal harta yang ia miliki. Melainkan, orang tersebut dikatakan mampu apabila mempunyai simpanan harta yang cukup untuk menghidupi dirinya beserta orang yang berada dalam tanggung jawabnya (keluarga) selama 4 hari (10-13 Dzulhijah). Sehingga misal ia sudah cukup menghidupi kebutuhan pokok dirinya dan tanggungannya selama 4 hari serta ada kelebihan harta setara harga hewan kurban, maka sudah dianggap mampu berkurban.
Kata “cukup” sendiri, Kata Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis yang lain adalah “cukup untuk (kebutuhan) sehari dan semalam”.
“Siapa yang meminta-minta padahal dia punya sesuatu yang mencukupkannya, sesungguhnya dia sedang mengumpulkan api neraka.” Para sahabat bertanya, “wahai rasul, siapa yang mampu/cukup itu?”, beliau menjawab: “Yang punya kecukupan untuk sehari dan semalam”. (HR Abu Daud)
Sementara dalam hadis lain riwayat Ibnu Majah, dari Abu Harairah Rasulullah ﷺ bersabda “Barangsiapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.”
Sampai sebegitunya Rasulullah ﷺ mewanti-wanti umatnya yang memiliki kecukupan/kelapangan harta namun enggan berkurban. Dalam pedapat sebagian ulama yang lain cukup dikatakan mampu apabila ia memiliki harta yang melebihi kebutuhan wajib dirinya (dan keluarga tanggungannya) saat malam Idul Adha dan pagi harinya.
Sehingga dalam beberapa paparan di atas sejatinya mungkin banyak diantara kita yang sudah masuk kategori mampu namun masih belum tergerak untuk berkurban.
Bayangkan saja, Rasulullah ﷺ dan para sahabat dengan kehidupan yang amat sederhana. Baju yang serba tambalan (karena terbatas). Makanan yang mungkin bukan hanya seadanya tapi juga sering kekurangan dan menahan lapar. Perabot rumah yang ala kadarnya.
“Keluarga Muhammad ﷺ tidak pernah merasakan kenyang (karena) makan roti gandum yang diberi kuah dalam tiga hari, sampai beliau bertemu Allah (wafat)” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam hadis lain dari Anas Bin Malik radhiallahu’anhu “Gelas Nabi ﷺ pecah, kemudian beliau menambalnya dengan perak” (HR. Bukhari)
Meskipun kurban khusus bagi Rasulullah ﷺ adalah wajib dan bagi selainnya (para sahabat dan umatnya) adalah sunnah. Namun setidaknya kita semua berusaha meneladani kehidupan beliau yang tetap berusaha berkurban meski dalam kondisi yang pas-pasan. Mempersembahkan amal kemuliaan demi mendekatkan diri pada Allah Swt. Padahal tak perlu disangsikan, mereka adalah manusia-manusia mulia di kolong langit. Doa yang dari lisannya makbul dan permohonan ampunnya diijabah.
Akhirnya, semoga tahun ini kita semua dimudahkan dalam mengamalkan syariat kurban. Amiin
Wallahua’lam bishshawwab ..
0 Comments